Pengelolaan Sampah, Tanggung Jawab Siapa?

 

Oleh : SITI AISYAH, M.Si

 

Pada penghujung tahun 2022,  dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup yang dihadiri para Gubernur se-Indonesia, Presiden Jokowi mengungkapkan penanganan sampah menjadi persoalan yang belum terselesaikan di berbagai daerah. "Saya pengalaman, sejak walikota sampai sekarang, urusan sampah belum pernah yang namanya tuntas”.  Presiden Jokowi heran dan mempertanyakan penyebabnya serta meminta jajarannya mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan sampah ini. Memang sampai sekarang persoalan sampah masih dilematis. 

 

Mohammad Bijaksana Junerrosono, ST, managing Director Wast4Change dalam bukunya berjudul “Tata Kelola Persampahan Di Indonesia” menyebut ada tiga isu tata kelola sampah yaitu regulasi dan kebijakan, kemitraan serta pembiayaan. 

 

Lantas di Sumatera Barat (Sumbar) bagaimana? Melihat realita lapangan, isu tata kelola sampah tidak hanya pada regulasi dan kebijakan tetapi juga persoalan kewenangan. Bahkan dengan kewenangan yang "kelihatannya"masih abu-abu dan tidak jelas ini, ada kesan 'saling lempar' tanggung jawab. Imbasnya sampah tidak terkelola secara baik sehingga mengganggu masyarakat dan lingkungan.

 

Dikaji-kaji betul, sejak diterbitkan UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah beserta turunannya, soal tugas dan wewenang pengelolaan sampah sudah diatur. Begitu pula dengan diterbitkannya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri 90/2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan dan Keuangan Daerah, sudah sangat jelas pula. Instansi mana saja yang dapat mengalokasikan anggaran dan sejauh mana perannya dalam penyelenggaran pengelolaan sampah di daerah.Terakhir dengan lahirnya UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga tidak mengubah tugas dan wewenang pengelolaan sampah  selama ini.

 

Namun di lapangan, muncul masalah. Sebagai contoh ditemuinya tumpukan sampah di pinggir jalan, sungai, danau, dan laut, hutan dan sebagainya. Masyarakat dibingungkan dengan pengotakan tersebut. Ada yang menyebut sampah yang berada di Jalan Nasional adalah kewenangan pusat. Sampah yang berada di jalan provinsi, kewenangan provinsi. Lalu sampah yang berada di jalan kabupaten/kota menjadi kewenangan kabupaten/kota. 

 

Begitu pula yang berada di sungai lintas kabupaten/kota, sungai lintas provinsi, hutan lindung dan sebagainya, ada yang menjadi kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Seolah-olah tugas dan wewenang pengelolaan sampah membedakan status jalan, status sungai dan status hutan. Benarkah begitu?

 

Untuk menjawabnya, mari kita lihat pasal-pasal dalam UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pada pasal 7,8 dan 9 disebutkan, pemerintah pusat memiliki wewenang menetapkan kebijakan, strategis, norma, standar dan kriteria pengelolaan sampah serta menfasilitasi dan mengembangkan kerjasama antar daerah, kemitraan dan jejaring dalam pengelolaan sampah serta menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antar daerah.

 

Kewenangan Pemerintah Provinsi hampir sama dengan kewenangan Pemerintah pusat. Yang membedakan hanyalah pada penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah. Level Pemerintah pusat dalam tatanan menetapkan kebijakan penyeselaian perselisihan maka level Pemerintah Provinsi lebih langsung, yaitu menfasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pengelolaan sampah lintas kab/kota. 

 

Berbeda dengan Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi, pada pasal 9  menjelaskan wewenang kab/kota sebagai penyelenggaraan pengelolaan sampah, menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengelolaan sampah terpadu dan/atau pemrosesan akhir sampah.

 

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, menjelaskan kewenangan pelaksanaan pengelolaan sampah hampir sepenuhnya berada di pemerintah kabupaten/kota. Sebagai ujung tombak pengelolaan sampah diharapkan kabupaten/kota akan terpacu untuk segera meningkatkan peran dan kapasitasnya. Dengan kondisi seperti ini tentu akan memberatkan Pemerintah Kabupaten/Kota. Boleh dikatakan, tidak ada klasifikasi, kodefikasi, nomenklatur program, kegiatan dan sub kegiatan dalam kaitannya penyelenggaraan pengelolaan sampah yang diatur dalam Permendagri 90/2019  dilaksanakan tingkat provinsi, kecuali peruntukannya untuk TPA Regional sampah.

 

Misalnya instansi vertikal di daerah seperti Balai Pelaksana Jalan, Balai Wilayah Sungai, Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Ketika pemerintah kab/kota meminta kontribusinya dalam mengelola sampah di  lokasi yang menjadi kewenangan instansi vertikal tersebut seperti di Kelok 9, Batang Arau, Lembah Anai dan sebagainya, instansi vertikal 
tersebut sama-sama menyampaikan, mereka tidak dapat mengalokasikan anggaran khusus untuk mengendalikan sampah pada lokasi itu.

 

Dengan demikian, 'pengendalian sampah di lokasi sepertu itu, tentu tak  tuntas-tuntas. Sampah tetap menjadi persoalan. Mengganggu manusia, merusak lingkungan. Dan bisa memancing "keributan". Padahal kita semua tidak mau hal itu terjadi. Jadi harus diselesaikan.

 

Kalau kita ingin menyelesaikan permasalahan sampah, soal kewenangan memang harus “duduk” lebih dahulu. Sebab penyelesaian permasalahan sampah diyakini tidak bisa hanya diselesaikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sama dengan keyakinan, setiap orang/lembaga dapat berkontribusi dalam pengelolaan sampah sesuai tupoksinya masing-masing.

 

Kalau dilihat alokasi anggaran pengelolaan sampah kabupaten/kota, hanya  beberapa di antaranya yang mengalokasikan anggarannya lebih dari 1% dari APBD. Selebihnya nol koma bahkan sampai 5 digit di belakang koma. Sungguh ini menjadi berat. Dan kalau kita evaluasi lebih lanjut maka ada korelasi yang kuat antara banyaknya sampah berceceran di jalan dan fasilitas umum dengan alokasi anggaran. Dalam artian beban berat, tetapi biaya minim. Dengan melihat dari aspek keuangan ini saja sudah jelas jawabannya kenapa masalah sampah di daerah  tidak selesai-selesai.

 

Lalu bagaimana? Haruskah berkutat dengan soal kewenangan dan keuangan?. Tentu persoalan ini semakin tidak selesai. Padahal cukup banyak piranti yang sebenarnya belum optimalkan sebagai instrument untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran. 

 

Pertama, menggunakan pinsip pengelolaan sampah dengan prinsip pengelola lingkungan hidup yaitu “Pencemar Membayar”  (Polluter must be paid) sehingga tanggung jawab pertama “membereskan” sampahnya adalah si penghasil sampah. Bisa perorangan, kelompok hingga kepada pelaku usaha bahkan panitia pelaksana event-event. Jadi harus ada korelasi jumlah sampah dengan nilai yang harus dibayar. Harus dibangun sistem masyarakat yang tidak mengelola sampah yang berkorelasi terhadap pelayanan atau pajak yang harus dibayar. 

 

Di samping itu penegakan hukum harus benar-benar ditegakkan. Kita akui, pemerintah kabupaten/kota sudah punya Perda Sampah yang memuat denda dan kurungan bagi yang membuang sampah sembarang. Lihatlah jelas-jelas soal denda tersebut. Nilainya tidak ada yang mencapai lebih dari Rp10 juta. Kemudian hukuman kurungan. Yang jadi 
pertanyaan apakah penjara dipenuhi oleh pelaku pembuang sampah sembarangan? Rasanya tidak. Atau tidak ada yang dipenjarakan, karena masyarakat sudah patuh? Rasanya juga tidak. Sebab, sampah masih banyak berceceran di mana-mana. 

 

Kalau dua hal itu saja dibereskan, saya berkeyakinan sampah yang berceceran di tempat-tempat umum dan di sungai, laut akan berkurang dratis tanpa kita harus dulu  bicara soal anggaran, sarana dan prasarana serta teknologi 
pengolahan sampah. 

 

Dan siapa yang bisa melakukan hal tersebut? Tentulah Pemerintah kab/kota karena Pemerintah Kabupaten/kota lah yang dapat mengambil retribusi sampah dan menerapkan sanksi. Tinggal lagi keberanian  untuk berbuat tegas.Saya yakin walaupun mungkin pertama akan banyak yang tidak senang tetapi setelah ada hasilnya lebih bersih dan indah pasti semua akan senang karena fitrah manusia sesungguhnya menyukai akan kebersihan dan keindahan. Percayalah. (*)

Share Berita :